+62 274 623896

Home » Pelatihan » Review Pelatihan Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi Partisipatoris

Review Pelatihan Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi Partisipatoris

Oleh: Matius Indarto (PLU Satu Hati, Yogyakarta, peserta pelatihan PME 8-11 Oktober 2013)

Pembelajaran dari Perencanaan Proyek

Perencanaan sebuah program memang seharusnya dilakukan dengan tahapan yang sistematis untuk melihat apakah program tersebut dapat berjalan dengan efektif, realistik dan juga mudah diukur capaiannya. Salah satu tools yang dipakai sebagai pendekatan perencanaan sebuah proyek adalah Logical Framework Analisys. LFA  sendiri merupakan alat yang sudah tidak asing lagi bagi saya, saya mendapatkan materi ini beberapa waktu silam ketika mengikuti sebuah training tentang LGBT dan HAM di Swedia. Namun apa yang saya dapatkan memang tidak sejelas di training yang diadakan Circle beberapa waktu silam. Kendala bahasa mungkin tidak menjadi persoalan, justru yang menjadikan berbeda bahwa LFA yang saya dapat di training sebelumnya lebih menitik beratkan kepada keluaran aktifitas yang kemudian dibreak-down ke capaian (ouput dan outcome). Pada pengalaman training kemarin bersama CIRCLE, kegiatan/ aktifitas justru ditempatkan terbalik setelah menemukan output dan outcome. Setelah ketemu output dan outcome proyek barulah kegiatan apa yang dapat dilakukan untuk intervensi.

Prioritas untuk melihat ouput, outcome dan goal saya rasa sangat membantu saya untuk lebih memahami bagaimana proyek/ program akan dibawa dan seberapa jauh intervensinya dapat dilihat ketimbang menemukan bentuk kegiatannya dan lalu menjabarkan output dan outcome nya. Di satu sisi, pemahaman tentang output dan outcome saya semakin membaik. Dulu saya sering sekali tertukar antara yang dimaksud dengan output dan outcome. Pelatihan PME ini telah menyegarkan dan memberikan pemahaman yang baik tentang bedanya output dan outcome.

Dalam pelatihan juga didiskusikan tentang pentingnya melihat asumsi dan resiko. Selama ini saya sering lupa untuk memasukkan asumsi dan resiko dalam logframe. Padahal, resiko itu sudah ‘terbaca’ dalam analisis sebelum program dimulai; begitu juga asumsi-asumsi yang dibutuhkan untuk mendukung capaian program.  Tetapi karena kami tidak paham bahwa itu penting untuk dituliskan, maka keduanya kami abaikan. Akibatnya, kami kelabakan ketika resiko itu benar-benar terjadi atau asumsi yang dibutuhkan program tidak terpenuhi.  Jadi bagi saya sekarang, asumsi/resiko ini sangat berguna, terlebih untuk memetakan situasi, memetakan dukungan danmengantisipasinya dengan manajemen resiko yang dibutuhkan.

Pembelajaran dari Proses Monitoring dan Evaluasi

Untuk melihat apakah sebuah kegiatan sudah berjalan baik dan tidak keluar dari logframe maka dilakukanlah monitoring dan evaluasi. Secara personal, saya sendiri pernah melakukannya di PLU Satu Hati dan juga di pekerjaan saya sekarang ini.  Selama ini yang saya pahami dalam monitoring adalah sebuah proses untuk melihat capaian dan kendala teknis paska kegiatan. Bagi saya, pengetahuan yang kurang tentang bagaimana monitoring dan evaluasi sebaiknya dirancang membuat saya melakukannya dengan sangat sederhana dan bahkan kelabakan ketika mendekati akhir sebuah proyek. Hal inilah yang kemudian membuat saya terjebak pada penilaian kegiatan menjadi dua sisi yakni sukses dan tidak sukses tanpa melihat pembelajaran yang bisa diambil dari kegiatan tersebut. Kadang juga saya mengartikan bahwa monitoring hanyalah satu tahapan dimana hanya saya yang ‘memantau’ tanpa ada intervensi apapun dari staff lain. Hal ini secara tidak langsung berdampak pada cara pandang keberhasilan sebuah capaian yang akhirnya menjadi bias dan tidak objektif.

Pengalaman dalam monitoring proyek/ kegiatan saya lakukan tanpa menggunakan metode yang jelas. Selama ini saya hanya melakukan monitoring di akhir setiap bulan tanpa perencanaan dan timeframe proyek yang jelas. Saya tidak pernah berpikir bahwa durasi proyek yang tidak sekedar bulanan itu, sehingga capaian-capaian yang akan dilihat dari proses monitoring juga tidak jelas

Dari segi evaluasi, pengalaman yang pernah saya lakukan adalah mengajak komunitas (beneficiaries) proyek untuk dilibatkan, walaupun sebenarnya jumah yang dilibatkan tidak mempresentasikan semua penerima manfaat. Dikarenakan keterbatasan pendanaan, dulu kami tidak menggunakan tenaga evaluator dari luar. Dalam proses evaluasi tersebut, sebisa mungkin saya melihat capaian-capaian per kegiatan sehingga dapat dilihat seberapa jauh perubahan yang dapat dihasilkan. Seperti di pelatihan kemarin, evaluasi proyek dapat melahirkan beberapa rekomendasi yang bisa menjadi basis bagi perencanaan proyek baru. Karena belum adanya monitoring yang sistematis terkadang saya menemukan bahwa capaian proyek cenderung overlap (capaian tidak tercapai tapi justru mencapai capaian yang lain). Di satu sisi ini mungkin baik tapi di lain sisi ini proyek bisa dikatakan gagal karena tidak dapat mencapai sebuah keluaran yang diharapkan

Apa yang saya dapatkan?

Pelatihan kemarin paling tidak menyegarkan kembali ingatan saya tentang materi LFA dan juga menambah pengetahuan saya dalam monitoring dan evaluasi partisipatoris. Saya katakan menambahkan karena selama ini saya belum pernah mendapatkan materi, metode dan pengertian yang baik tentang proses monitoring dan evaluasi. Ada beberapa aspek dalam siklus managemen proyek yang sebenarnya sudah saya terapkan namun kemudian hanya terhenti setelah evaluasi akhir proyek. Pelatihan kemarin paling tidak membukakan mata saya untuk lebih jeli dalam mengolah temuan baik di tahapan perencanaan, monitoring dan evaluasinya.

Hal yang bagi saya menarik adalah materi tentang monitoring dan evaluasi. Dimana dua hal tersebut tidaklah sesederhana yang saya pikir dan tidak begitu sulit juga untuk dilakukan. Ke depan saya akan mencoba mengimplemetasikannya dalam kerja-kerja saya dan juga ke PLU.

 

Terimakasih Circle yang telah memberikan kesempatan bagi saya untuk belajar!

Comments are closed.