+62 274 623896

Home » Pelatihan » PUBLIKASI TRAINING GENDER (14-17 MEI 2013)

PUBLIKASI TRAINING GENDER (14-17 MEI 2013)

Gender Budgeting Advocacy adalah sebuah proses inisiatif untuk menganalisis dan mengadvokasi anggaran dengan tujuan untuk menjamin terjadinya gender equality dalam pengambilan keputusan mengenai alokasi sumber daya publik dan dalam distribusi anggaran pemerintah. Proses gender budgetting seharusnya berakhir pada anggaran yang berperspektif gender.

Di Indonesia, pemerintah menampakkan komitmennya untuk melaksanakan pengarusutamaan gender sebagai salah satu strategi menuju kesetaraan dan keadilan gender, sebagaimana tertuang dalam Intruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.  Di tingkat kementerian, Kemenkeu telah mengeluarkan juklak tentang Penyusunan Rencana Anggaran Kementerian Negara/Lembaga 2010, yang di salah satu bagiannya adalah petunjuk penyusunan Anggaran Responsif Gender (ARG). Khusus dalam penganggaran daerah, komitmen tersebut telah diturunkan dalam Kepmendagri No. 132 tahun 2003 tentang alokasi tertentu (min. 5 %) untuk anggaran terkait perempuan. Tetapi hal ini menimbulkan kritik, karena anggaran khusus perempuan, dianggap menjustifikasi anggaran yang justru bias gender dalam porsi yang lebih besar. Kemudian Mendagri melakukan revisi dengan Permendagri No. 15 tahun 2008, yang mengatur bahwa anggaran secara umum harus didasarkan pada pertimbangan pada dampak gender, dan bukan hanya persentase tertentu.

Jumlah program, peraturan dan anggaran tingkat nasional yang responsif gender meningkat sejak tahun 2000. Presiden mengakui kesetaraan gender sebagai permasalahan pembangunan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM 2004-2009) berisi 38 program responsif gender, meningkat dari 19 program dalam RPJM 2000-2004. Dua puluh Kementerian sektoral sudah membentuk kelompok kerja dan gender focal point untuk menerapkan pengarusutamaan gender dalam kebijakan dan programnya, (UN ESCAP,  2010). Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) tahun 2005 secara eksplisit memasukkan gender sebagai elemen dalam pengentasan kemiskinan dan memastikan adanya komitmen untuk mengupayakan kesetaraan gender. Strategi ini dilihat sebagai ‘uji kasus terhadap kemampuan Pemerintah Indonesia mewujudkan janjinya untuk mengarusutamakan gender di berbagai sektor pemerintahan. (Schech dan Mustafa, 2 0 1 0).

 

RPJM 2010-2014 mempertegas upaya pemerintah untuk mengarusutamakan gender dengan penekanan lebih lanjut pada perbaikan kualits  hidup dan perlindungan terhadap perempuan dan mempertimbangkannya dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Namun demikian,  sejauh ini masih terdapat pemahaman yang belum cukup baik dalam pengarusutamaan gender dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan. Assessment tentang Analisis Gender dalam Pembangunan yang dilakukan di 18 kementerian dan lembaga di 7 provinsi dan 7 kabupaten/kota, oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada tahun 2007, mengungkap kurangnya keahlian gender dan kapasitas untuk mengumpulkan data dengan tepat, sehingga menghambat upaya pengarusutamaan gender di sebagian besar lembaga Indonesia. Data terpilah jarang digunakan dalam penyusunan kebijakan, dan kualitas pelaporan jelek (Bappenas, 2007). Studi yang dilakukan tahun 2009 menunjukkan bahwema hanya ada lima wilayah yang menggunakan data terpilah dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) pada tahun terkait, dan ini tidak dipakai dalam penyusunan anggaran atau rencana dan kebijakan pembangunan lainnya, (Informasi Anggaran Indonesia, 2010). Studi yang dilakukan pada tahun 2010 terhadap 41 kabupaten/kota menunjukkan masih lemahnya pertimbangan gender dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan di tingkat kabupaten/kota. Dari anggaran yang dikaji, terlihat berbagai efek yang berbeda terhadap penyusunan program advokasi, pelaksanaan program dan pemilihan strategi untuk tahun yang sama. Kajian yang ada juga menunjukkan bahwa hanya sembilan pemerintah lokal yang memfasilitasi pelaksanaan Surat Edaran Bersama yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan BAPPENAS, menyangkut keharusan menyertakan jumlah minimal perempuan selama persiapan Musrenbang, (Informasi Anggaran Indonesia, 2010, dalam kertas kebijakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan 2010).

Di kalangan masyarakat sipil, upaya untuk mendorong PUG di daerah-daerah terus dilakukan, baik di level kelompok-kelompok masyarakat, organisasi masyarakat maupun NGO. Sayangnya, proses tersebut belum dilakukan secara continyu dan secara masif, sehingga perlu akselerasi yang lebih intensif kepada berbagai pihak. Beberapa langkah yang harus dilakukan adalah peningkatan kapasitas bagi kelompok masyarakat untuk bisa melakukan advokasi gender budget. Selain itu,juga perlu meningkatkan kapasitas bagi organisasi masyarakat sipil agar mampu mendorong masyarakat melakukan advokasi gender budget.

Karenanya, CIRCLE Indonesia bekerjasama dengan IDEA Yogyakarta, menyelenggarakan Pelatihan Advokasi Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender bagi kalangan pegiat Organisasi Masyarakat sipil, baik yang aktif di Ormas, NGO lokal, NGO international, development agency maupun profesional perorangan yang peduli tentang permasalahan tersebut.

Comments are closed.